Rubrik: Wanita |
Oleh: Adrian Fetriskha, SH. - 28/03/13 | 11:30 | 17 Jumada al-Ula 1434 H
dakwatuna.com - Di
Jalan dakwah kita menemukan banyak akhwat dengan intensitas kesibukan
tinggi bahkan di atas rata-rata. Mengawali paginya dengan rapat,
kegiatan seminar, bakti sosial, up grading pengurus, menjadi panitia,
membina adik-adik liqa’ nya, menghadiri liqa’ nya sendiri, lalu rapat
lagi dan sederet aktivitas lainnya. Kesibukan demi kesibukan yang sangat
sangat dicintainya itu membuatnya semakin kokoh berpijak di jalan
dakwah.
Namun karena kesibukan yang teramat padat di
luar sana, ia tidak sempat untuk memasak di dalam dapurnya dan lebih
sering hanya membeli masakan di warung. Perlahan kemudian ia menjadi
hilang di dapur, tidak bisa dan bahkan malas untuk memasak. Kalaupun ada
itu hanya sekadar memasak nasi di magic jar atau merebus mie instan.
Merekalah yang kemudian kokoh berdiri di jalan dakwah tetapi berguguran
di dapur.
Padahal memasak adalah skill yang
seharusnya dimiliki oleh seorang akhwat. Bagi sebagian kalangan kadang
ini terlihat seperti hal yang sepele, tapi sesungguhnya memasak itu
adalah jihad. Bukankah Rasulullah pernah bersabda bahwa jihad seorang
wanita adalah di rumahnya? Mengurus rumah tangga, termasuk mengasuh anak
dan memasak adalah ladang jihad bagi wanita. Semua tidak akan sia-sia
bila dilakukan dengan ikhlas dan diniatkan untuk ibadah.
Keahlian
dalam memasak adalah pembeda yang unik, ia adalah salah satu magnet
yang mendekatkan seorang suami dengan rumahnya. Meskipun ia menemukan
banyak makanan yang terlihat enak di luar, ia tetap akan lebih menyukai
masakan yang ada di rumah. Karena ia mengetahui siapa yang memasaknya,
mengetahui akan kebersihannya dan mengetahui dengan uang apa itu semua
dibeli. Akhwat yang mampu memasak jika telah berkeluarga maka ia akan
menjadi perekat di keluarganya, ia menjadi faktor yang membahagiakan
suami dan anak-anak melalui masakan yang dibuat.
Selain
itu, seorang akhwat jika bisa memasak maka saat ia berperan sebagai
seorang istri, ia akan mampu menghemat pengeluaran keluarga. Tapi jika
tidak mampu memasak dan hanya mengandalkan masakan yang dijual di
warung, maka itu akan menyebabkan pengeluaran yang besar di keluarga.
Harga
satu porsi masakan standar yang dijual di warung berkisar Rp. 8000 –
Rp. 15.000. Kita ambil harga pertengahan saja: Rp.10.000, maka bayangkan
berapa anggaran dana yang dibutuhkan oleh satu keluarga dengan 3 orang
anak untuk makan 3 kali dalam 1 hari yaitu 5 x 3 x Rp. 10.000 = Rp.
150.000 / hari. Dalam sebulan dibutuhkan dana sebesar; Rp. 150.000 x 30
hari = Rp. 4.500.000. Woow 4,5 juta sebuah angka yang fantastis, hanya
untuk makan. Angka sebesar itu bagi seorang istri yang cerdas dan bisa
memasak bisa dibelikan ke berbagai bahan mentah untuk membuat lebih
banyak variasi masakan, tentu saja untuk jangka waktu yang juga lebih
lama.
Memang tidak kita pungkiri bahwa ada banyak
keluarga ikhwah dengan penghasilan yang besar, Alhamdulillah, sehingga
jumlah uang 4,5 juta untuk membeli makanan bagi mereka adalah kecil.
Bahkan sebagian mampu menyediakan pembantu yang ditugaskan untuk memasak
di rumah. Tidak ada yang salah dengan itu, hanya saja ada kehangatan
yang hilang di meja makan. Ketika masakan yang dibeli atau dimasak
pembantu begitu enak, seorang suami atau anak-anak akan berkomentar, “wah masakan si mbok enak banget ya...”. Akan terasa beda jika komentar yang muncul adalah, “wah masakan ummi enak banget… besok masak lagi ya mi…”. Tuhh kan beda.
Maka
tidak ada alasan bagi akhwat untuk tidak bisa memasak, apalagi ketika
ia telah menjadi seorang istri. Tidak harus mahir, bisa memasak saja
sudah cukup. Asin-asin sedikit tidak apalah, tetap akan masih dipuji
oleh seorang suami yang beriman. Tidak sehebat koki pun tak masalah,
asal ada kemauan untuk terus belajar. Apalagi di zaman serba canggih,
resep masakan apa saja tinggal cari di Google.
Kunci
rahasia untuk memasak itu hanya satu, berlatih. Karena hakikatnya
memasak adalah suatu keahlian. Pelajari memasak secara bertahap mulai
dari level rendah sampai level tinggi, contoh mulailah dengan membuat
gorengan – tumisan – asam padeh – gulai – kalio dan terakhir rendang,
sebuah masakan dengan level tersulit di Padang. Jangan pernah putus asa
ketika ada gorengan yang hangus, tumisan yang hambar, gulai yang asin
dan kehancuran fatal lainnya dalam memasak, itu semua biasa saja.
Sungguh tidak ada kata terlambat untuk belajar, apalagi untuk belajar
memasak. Belajarlah untuk membedakan mana jahe mana lengkuas, mana
merica dan mana ketumbar, supaya tidak menjadi akhwat-akhwat yang
berguguran di dapur.
0 komentar:
Posting Komentar